KEZALIMAN PEMBLOKIRAN REKENING Intelectual Opinion.
KEZALIMAN PEMBLOKIRAN REKENING
Intelectual Opinion.
Ada ironi dalam kebijakan negara belakangan ini. Jutaan rekening masyarakat
dibekukan atas nama pencegahan kejahatan digital. Namun, pelaku kejahatan yang
sebenarnya justru bebas berkeliaran. Ada yang keliru dalam membaca persoalan
ini.
PPATK memblokir jutaan rekening yang dianggap “tidak aktif selama tiga bulan”.
Katanya, ini untuk mencegah rekening digunakan dalam praktik penipuan dan judi
online.
Namun mari kita telisik
lebih dalam:
Rekening pelaku kejahatan justru sangat aktif.
Penipu, bandar judi, pencuci uang—mereka menggunakan rekening yang sibuk:
uang masuk, langsung ditarik atau dipindahkan ke rekening lain.
Mereka lihai: membeli rekening orang lain, memakai identitas palsu, atau
membuka rekening sekali pakai.
Bukan rekening pasif yang tertidur selama tiga bulan.
Jika logikanya adalah:
rekening pasif =
rekening kriminal,
itu sungguh absurd.
Ibaratnya seperti
menangkap orang yang sedang tidur siang karena dikira pencuri,
padahal pencurinya sedang berlari membawa tas.
Salah sasaran total.
Secara hukum, memang benar PPATK diberi kewenangan.
Namun Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 mengatur bahwa pemblokiran harus berdasarkan
analisis transaksi mencurigakan, bersifat sementara (maksimal 20
hari kerja), dan tidak boleh dilakukan secara massal dan sembarangan.
Faktanya?
Seluruh prinsip itu dilanggar.
Tanpa pemberitahuan.
Tanpa indikator jelas.
Tanpa mekanisme perlawanan hukum.
Ini bukan sekadar soal
rekening.
Ini soal hak sipil.
Hak seseorang atas uangnya sendiri dapat lenyap dalam satu klik, tanpa
proses hukum.
Siapa yang paling terdampak?
Petani. Nelayan. Pensiunan. Mahasiswa di luar negeri. Buruh migran. Lansia.
Mereka yang secara wajar menggunakan rekening secara musiman.
Rekening mereka dapat
dibekukan begitu saja—tanpa konfirmasi.
Siapa yang diuntungkan?
🔹 Otoritas yang bisa mengklaim
keberhasilan “bersih-bersih sistem”.
🔹 Bank yang dapat merapikan basis data
nasabah.
Dan yang tetap melenggang tanpa terganggu?
Pelaku kejahatan digital.
Mereka selalu selangkah lebih cepat dari sistem negara.
Data resmi PPATK hingga Juli 2025 mencatat:
🔹 31 juta rekening “tidur” diblokir
(total saldo: Rp6 triliun)
🔹 Hanya 28 ribu rekening terbukti
terlibat jual beli akun
🔹 Hanya 5 ribu rekening terbukti
terkait dana judi online
Perbandingan yang
timpang.
Yang disasar jutaan, yang terbukti hanya ribuan.
Solusinya bukan pemblokiran massal.
Bukan pendekatan “asal bersih”.
Gunakan sistem analitik real-time.
Fokus pada pola transaksi.
Sasar pelaku, bukan korban.
Jika tidak, negara
hanya akan terlihat sibuk—namun salah arah.
Dalam Islam, keadilan adalah pondasi hukum dan pemerintahan.
"Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil…" (QS. An-Nahl: 90)
"Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat." (HR.
Bukhari-Muslim)
Kebijakan yang salah
sasaran bukan sekadar kesalahan teknis—itu adalah bentuk kezaliman
administratif.
Jangan salahkan rakyat atas buruknya sistem.
Rakyat bukan musuh.
Rekening pasif bukan bukti kriminalitas.
Blokir massal bukan solusi—melainkan cerminan kemalasan berpikir.
Negara seharusnya
cerdas, bukan sekadar tegas.
Jika kebijakan seperti ini terus berlanjut,
kepercayaan publik akan luntur.
Padahal kepercayaan adalah modal utama dalam memerangi kejahatan digital.
Sampai kapan negara
sibuk menyapu debu,
sementara api terus menyala di depan mata?
Post a Comment for " KEZALIMAN PEMBLOKIRAN REKENING Intelectual Opinion."