Jejak Khilafah di Sulawesi (Bagian 5) Trio Datu’: Strategi Dakwah, Politik, dan Spiritual yang Mengubah Sejarah
Jejak Khilafah di
Sulawesi (Bagian 5)
Trio Datu’: Strategi Dakwah, Politik, dan Spiritual yang Mengubah Sejarah 🌍✨
Tahukah Anda bahwa penyebaran Islam secara luas di Sulawesi bermula dari kiprah
tiga ulama besar asal Minangkabau?
Mereka dikenal sebagai Trio Datu’:
🔸 Datu’ ri Bandang
🔸 Datu’ ri Pattimang
🔸 Datu’ Tiro
Mereka tidak hanya
berdakwah, tetapi juga membawa strategi politik dan pendekatan spiritual yang
mengguncang tatanan lama.
Langkah awal mereka dimulai di Bua, sebelah selatan Palopo.
Di sana, mereka disambut oleh I Assalang Tenriajeng, seorang tokoh lokal
yang telah diam-diam memeluk Islam.
Melalui beliau, mereka
bertemu Datu’ Luwu’ La Patiware Daeng Parabung, penguasa Luwu’ yang saat
itu masih menganut kepercayaan leluhur.
Dalam dialog panjang yang penuh hikmah, Trio Datu’ menjelaskan bahwa “Dewata
Seuwwae” yang selama ini diyakini masyarakat Luwu’, sejatinya adalah Allah
Ta’ala.
Dengan pendekatan
filosofis dan spiritual yang dalam, Datu’ Luwu’ akhirnya mengucap syahadat pada
15 Ramadhan 1013 H (4 Februari 1605 M).
Ia kemudian bergelar Sultan Muhammad Wali Muzhahiruddin.
Peristiwa ini menjadi titik balik sejarah Sulawesi.
Sultan Luwu’ tidak
hanya memeluk Islam, tetapi juga mendukung penuh dakwah Trio Datu’ dan
mengutus mereka untuk menyebarkan Islam ke kerajaan-kerajaan besar
lainnya—khususnya Gowa dan Tallo’ di wilayah Makassar.
5
Mereka pun berpencar, menyusun strategi dakwah:
🔸 Datu’ ri Pattimang tetap di Luwu’
🔸 Datu’ ri Bandang menuju Makassar
🔸 Datu’ Tiro berdakwah ke Bulukumba, yang
dikenal sebagai pusat ilmu kebatinan saat itu
Inilah strategi
distribusi dakwah—dengan
peran dan wilayah yang ditetapkan untuk efektivitas misi Islamisasi.
Ketika Datu’ ri Bandang tiba di Tallo’, ia disambut langsung oleh Karaeng
Matoaya, penguasa Tallo’—yang bahkan telah mengucap salam Islami.
Tak menunggu lama, pada
22 September 1605, Karaeng Matoaya mengucapkan syahadat.
Ia diikuti oleh Karaeng Gowa, I Mangarangi Daeng Manra’bbia.
Kedua pemimpin itu pun mendapat gelar baru:
🔹 Sultan Abdullah Awwal al-Islam
(Tallo’)
🔹 Sultan Alauddin (Gowa)
Mereka bukan sekadar
mualaf—tapi pelopor dakwah Islam di Sulawesi Selatan.
Namun jalan dakwah tidak selalu damai.
Aliansi Tellumpoccoe (Bone, Wajo, Soppeng) menolak dakwah Islam karena
trauma politik masa lalu akibat ekspansi Gowa.
Sebagai respons, Gowa
mendeklarasikan jihad—bukan semata perang fisik, tetapi pembuka jalan
bagi dakwah yang terhalang.
Rentetan pertempuran pun terjadi (1608–1611).
Namun, Gowa berhasil menaklukkan dan mengislamkan wilayah-wilayah strategis
tersebut.
Yang menarik, Islam
menyebar bukan hanya karena kekuatan militer, tapi karena janji persatuan
dan etika politik Islam yang ditawarkan kepada para raja dan rakyat.
Kisah Trio Datu’ menunjukkan bahwa Islam di Sulawesi tidak hadir lewat
ceramah semata.
Ia hadir melalui:
✔ Diplomasi
✔ Perenungan spiritual
✔ Keputusan politik besar
✔ Dukungan penuh para penguasa lokal
✨
Pertanyaan untuk Anda:
Jika hidup di masa itu, Anda akan ikut siapa lebih dulu?
🔹 Datu’ ri Bandang di Makassar?
🔸 Datu’ ri Pattimang di Luwu’?
🔹 Atau Datu’ Tiro di Bulukumba?
Tulis pilihan Anda di
kolom komentar! 👇
Dan jangan lupa bagikan kisah ini, agar lebih banyak yang tahu bahwa Sulawesi
adalah bagian penting dari sejarah peradaban Islam dunia.
#JejakKhilafah #TrioDatu #SejarahIslamSulawesi #DakwahNusantara
#KhilafahDiSulawesi
Sumber : https://alwaie.net/
Post a Comment for "Jejak Khilafah di Sulawesi (Bagian 5) Trio Datu’: Strategi Dakwah, Politik, dan Spiritual yang Mengubah Sejarah"