Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kekhilafahan Islam, Lokal Atau Global ???

Fenomena  mencuatnya kembali isu NII (Negara Islam  Indonesia)  dengan segala kontroversinya, ikut mencuatkan kembali  opini  tentang  bentuk Negara Islam. Menyimak namanya, NII atau Negara Islam Indonesia, maka opini yang terbangun darinya  adalah  sebuah  negara  Islam lokal. Selain berbagai penyesatan yang menyertainya, dipeliharanya isu NII ini juga bisa menjadi stigma tersendiri  bagi  umat  Islam  yang memperjuangkan tegaknya negara Rasulullah SAW itu. Tulisan ini sendiri  bukan  untuk  mengurai semua isu yang berkembang seputar NII, tetapi hanya mengurai gagasan negara Islam yang sebenarnya  justru  bertentangan  dengan ajaran Islam.

Ini wajar saja, karena Kartosoewirjo yang dinobatkan sebagai imam saat itu, bukanlah seorang pemikir dan  mujtahid.  Bahkan, sebagaimana yang tampak pada Qanun Asasi yang dideklarasikan oleh NII Kartosoewirjo, jelas dinyatakan bahwa negara Islam Indonesia  berbentuk  Republik  (Jumhuriyyah) (Bab I, pasal 1, ayat 2). Selain itu, syariat Islam juga hanya diberlakukan kepada kaum Muslim (Bab I, pasal 1, ayat 3). Di dalam qanun yang sama juga dinyatakan, bahwa  pemerintahan  dijalankan oleh  Imam  dan  Dewan  Imamah (Bab I, pasal 3, ayat 2 dan Bab IV, pasal  10  juga pasal  11,  ayat  2). Semakin  lengkap  kesalahannya, ketika qanun yang sama menegaskan,  bahwa  Imam  adalah  orang Indonesia asli (Bab IV, pasal 12, ayat 1). Ini mempertegas konsepnation state NII.

Dari  hasil  analisa  terhadap Qanun Asasi NII Kartosoewirjo ini tampak bahwa negara Islam yang dideklarasikan itu tidak jelas bentuknya. Mengacu kepada bentuk negara, berdasarkan teori tata negara, bentuk negara ada tiga, yaitu kesatuan, federasi atau persemakmuran. Namun, tidak jelas, negara yang  dimaksud  berbentuk  apa? Sedangkan Islam telah menetapkan, bahwa bentuk Negara Islam (Khilafah) adalah negara kesatuan, bukan  federasi  atau  persemakmuran. Meskipun wilayahnya terdiri  dari  berbagai  wilayah  yang membentang hingga 2/3 belahan dunia. Karena khilafah merupakan satu-satunya negara kaum Muslim, dengan  seorang  kepala  negara, meski  didiami  oleh  suku  dan bangsa yang berbeda-beda.

Penegasan  ini  dinyatakan oleh Nabi, “Jika ada dua khalifah telah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri). Sabda Nabi ini dijadikan dasar oleh para  ulama  untuk  menetapkan bentuk  negara,  bahwa  negara khilafah  bukanlah  federasi  atau persemakmuran, tetapi negara kesatuan. Dalam komentarnya, Imam an-Nawawi  menegaskan,  “Hadits ini  berisi  larangan  pendiriannya (imamah/khilafah)  untuk  dua orang.”  (Lihat,  an-Nawawi,  Syarh Shahih Muslim, Juz XII/191). Hadits yang  sama  juga  dijadikan  dasar oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh Abd al-Qadim Zallum, bahwa negara Khilafah adalah negara kesatuan (Lihat, an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, hal. 89).

Konsep negara kesatuan ini meniscayakan  hanya  ada  satu negara bagi kaum Muslim di seluruh  dunia.  Karena  itu,  negara khilafah ini didefinisikan oleh al-‘Allamah  Syaikh  an-Nabhani  dan ‘Abd  al-Qadim  Zallum  dengan, “Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk menegakkan  hukum-hukum  syariat Islam  dan  mengemban  dakwah Islam  ke  seluruh  penjuru  dunia.” (Lihat,  an-Nabhani  dan  Zallum, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 35). Satu negara dengan satu kepala negara,  yaitu  khalifah  serta  satu UUD  dan  perundang-undangan, yaitu hukum syariah yang berlaku di seluruh wilayahnya. Tidak ada peraturan  daerah  (perda),  yang berbeda  satu  dengan  yang  lain, dan hanya berlaku untuk penduduk  di  daerah  tertentu,  bukan untuk  yang  lain,  sebagaimana dalam sistem federasi.

Karena  negara kesatuan ini terdiri  dari  berbagai  suku  dan bangsa,  dengan  wilayah  yang terbentang di seluruh dunia, maka negara  khilafah  ini  juga  bukan nation  state,  sebagaimana  yang dinyatakan oleh NII dalam Qanun Asasi-nya. Sebagai negara kesatu-an, kepala negaranya adalah Muslim  yang  menjadi  warga  negara khilafah,  bisa  berbangsa  Indonesia,  Malaysia,  Turki,  Pakistan, Palestina,  Suriah,  Mesir,  Spanyol atau yang lain. Ketika Nabi ditanya, apakah  kekuasaan  sepeninggal baginda akan diserahkan kepada Bani Amir bin Sha’sha’ah, dengan tegas Nabi menyatakan, “Sesungguhnya  urusan  milik  Allah.  Allah akan  berikan  kepada  siapa  saja yang  Dia  kehendaki.”  (Lihat,  Ibn Hisyam,  as-Sirah  an-Nabawiyyah, Juz II/38). Sabda Nabi ini menjadi dasar, bahwa syarat kepala negara dari  suku  atau  bangsa  tertentu, jelas telah ditolak oleh Nabi SAW. Kecuali Quraisy, karena ada nash yang menyatakan demikian. Meski, ini juga tidak bersifat mutlak, tetapi  hanya  merupakan  syarat afdhaliyyah (keutamaan).

Berdasarkan paparan di atas bisa  disimpulkan,  bahwa  negara khilafah  ini  merupakan  negara global, bukan negara lokal. Meskipun  merupakan  negara  global, khilafah  juga  tidak  berbentuk persemakmuran,  seperti  Inggris atau Prancis; juga tidak berbentuk federasi,  seperti  Malaysia  atau Amerika  Serikat;  juga  tidak  berbentuk liga bangsa-bangsa, seperti PBB, sebagaimana yang pernah dinyatakan  oleh  Muhammad  al-Ghazali  dan  Ikhwan  al-Muslimin. Tetapi, negara khilafah merupkan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang khas dan unik. Berbeda dengan bentuk dan sistem pemerintahan manapun di muka bumi ini.

Negara  khilafah  juga  tidak berbentuk  kerajaan  (monarchi), yang dipimpin oleh seorang raja, baik sebagai kepala negara maupun  kepala  pemerintahan,  sebagaimana  dalam  sistem  monarchi absolut,  seperti  Kerajaan  Arab Saudi; atau hanya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan,  sebagaimana  dalam  sistem monarchi  parlementer,  seperti Kerajaan  Malaysia.  Khilafah  juga tidak  berbentuk  republik,  yang dipimpin oleh presiden, baik dalam sistem presidensial, seperti RI pada  zaman  Soeharto,  maupun dalam sistem parlementer, seperti RI pada zaman Soekarno, dengan PM Natsir, dan lain-lain.

Khilafah  juga  bukan  sistem demokrasi, yang menganut konsep trias politika, dengan kedaulatan  di  tangan  rakyat.  Sebab, kedaulatan dalam sistem pemerintahan  Islam  berada  di  tangan syariah. Khilafah juga bukan sistem teokrasi, yang memosisikan kepala negaranya  sebagai  wakil  tuhan, dan tidak bisa melakukan kesalahan. Karena kepala negara khilafah adalah  manusia  biasa,  dan  bisa bersalah  sebagaimana  manusia yang lainnya.

Selain tidak mengenal trias politik (split of power), pembagian kekuasaan,  yaitu  legislatif,  eksekutif dan yudikatif, Islam juga tidak mengenal  model  kepemimpinan kolegial  (kolektif)  sebagaimana dalam sistem demokrasi, atau konsep Dewan Imamah dalam konsep NII. Karena kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal (al-qiyadah fardiyyah) pada diri khalifah. Khalifah  dibantu  oleh  para  Mu’awin (pembantu), baik di bidang pemerintahan, seperti Mu’awin Tafwidh, maupun  di  bidang  administrasi, seperti Mu’awin Tanfidz.

Namun, posisi Mu’awin berbeda  dengan  menteri  kabinet, atau dalam bahasa Malaysia, Jamaah Menteri. Karena dengan tegas Nabi  menyatakan,  “Jika  ada  tiga orang bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.”  (HR. Ibn Huzaimah).Lafadz, 
“salah seorang di antara mereka (ahadahum)” mempunyai mafhum mukhalafah  (konotasi  terbalik), yaitu larangan mengangkat lebih dari seorang menjadi pemimpin. Hadits  ini  juga  menjadi  dasar, bahwa  kepemimpinan  dalam  Islam bersifat tunggal, bukan kolektif atau kolegial.

Meski demikian, harus diberi catatan,  bahwa  tidak  berarti  dengan konsep kepemimpinan tunggal, khilafah akan menjadi negara yang korup, sebagaimana dalam teori  politik  kapitalis  yang  oportunis. Karena, dalam khilafah ada fungsi check and balance yang selalu dijalankan oleh majelis umat, partai  politik  dan  umat. Bahkan, ada fungsi pemakzulan yang bisa dilakukan oleh Mahkamah Mazalim. Dengan begitu, potensi terjadinya  kekuasaan  yang  korup  itu telah tertutup rapat dalam sistem khilafah. Ini telah dibuktikan dalam sejarah keemasan Islam. Bukan sekedar teori, mimpi apalagi fantasi. [KH Hafidz Abdurrahman]

Sumber : www.pintuledeng.com

Post a Comment for "Kekhilafahan Islam, Lokal Atau Global ???"