Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Keamanan Dalam Negeri dan Kepolisian Dalam Sistem Khilafah


Keamanan dan stabilitas dalam negeri suatu negara memainkan peran yang sangat penting. Perekonomian yang menjadi urat nadi kehidupan rakyat tidak akan berjalan dengan baik jika keamanan dan stabilitas dalam negeri kacau dan terganggu. Jihad yang menjadi kewajiban negera dalam mengemban dakwah ke seluruh dunia juga tidak mungkin dilakukan dengan sempurna jika keamanan dan stabilitas dalam negeri belum terkendalikan. Bagaimana mungkin para prajurit akan berjihad secara maksimal jika pikirannya terus dihantui oleh keadaan keluargannya yang tengah terancam kaamanannya.
Untuk itu, diperlukan sebuah departemen dan organ fungsionalnya yang secara khusus menangani keamanan dan stabilitas dalam negeri. Departemen apakah itu dan apa organ fungsionalnya? Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 70, yang berbunyi: “Departemen Keamanan Dalam Negeri menangani semua bentuk ancaman dan gangguan keamanan, mencegah segala hal yang dapat mengancam keamanan dalam negeri, menjaga keamanan di dalam negeri melalui kepolisian dan tidak diserahkan kepada militer kecuali dengan perintah dari Khalifah. Pemimpin departemen ini disebut Direktur Keamananan Dalam Negeri. Departemen ini memiliki cabang di setiap wilayah yang disebut Direktorat Keamanan Dalam Negeri, dan kepalanya disebut Kepada Kepolisian Wilayah.” Juga Pasal 71, yang berbunyi: “Kepolisian ada dua jenis: kepolisian militer yang berada di bawah Amirul Jihad atau Departemen Perang; kepolisian yang ada di bawah penguasa untuk menjaga keamanan, yang berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Kedua jenis kepolisian tersebut diberi pelatihan khusus dengan tsaqâfah khusus yang memungkinkan mereka melaksanakan tugas-tugas mereka dengan baik (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilûfah, hlm. 19-20).
Departemen Keamanan Dalam Negeri
Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dâ’irah al-Amni ad-Dâkhili) adalah lembaga negara yang bertanggung jawab atas pengendalian keamanan dalam negeri. Departemen ini dikepalai oleh Direktur Keamanan Dalam Negeri (Mudîr al-Amni ad-Dâkhili). Departemen ini memiliki cabang di setiap wilayah yang dinamakan Idârah al-Amni ad-Dâkhili (Direktorat Keamanan Dalam Negeri) yang dipimpin oleh Kepala Kepolisian Wilayah (Shâhib asy-Syurthah al-Wilâyah). Kepolisian Wilayah ini berada di bawah kekuasaan wali (gubernur) dari sisi tanfîdz (pelaksanaan), namun dari sisi administrasinya berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Sehubungan dengan hal ini akan diatur dengan undang-undang yang khusus untuk masalah tersebut (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 223; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 93).
Departemen Keamanan Dalam Negeri (Depkamdagri) merupakan departemen yang menangani semua bentuk ancaman dan gangguan keamanan. Departemen ini juga menangani penjagaan keamanan di dalam negeri melalui satuan kepolisian. Kepolisian merupakan alat utama untuk menjaga keamanan dalam negeri. Depkamdagri berhak menggunakan satuan kepolisian kapan pun dan seperti yang dia inginkan. Bahkan perintah dari departemen ini harus segera dilaksanakan. Adapun jika keperluan menuntut untuk meminta bantuan kekuatan militer, maka departemen ini wajib menyampaikan perkara tersebut kepada Khalifah. Khalifah berhak memerintahkan pasukan untuk membantu Depkamdagri, atau dengan menyiapkan kekuatan militer untuk membantu Depkamdagri untuk menjaga keamanan, atau perkara lain menurut pandangan Khalifah. Dalam hal ini, Khalifah juga berhak menolak permintaan Depkamdagri dan memerintahkan-nya agar mencukupkan diri dengan satuan kepolisian saja (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 223; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 93; Zallum,Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 145).
Kepolisian dan Jenisnya
Kepolisian adalah organ fungsional yang bertugas menjaga keamanan dan stabilitas dalam negeri dari berbagai gangguan dan ancaman keamanan. Satuan kepolisian beranggotakan laki-laki yang sudah balig dan memiliki kewarganegaraan. Wanita boleh menjadi anggota kepolisian untuk melaksanakan tugas-tugas kewanitaan yang memiliki hubungan dengan tugas-tugas keamanan dalam negeri. Negara akan mengeluarkan undang-undang khusus untuk mengatur masalah ini sesuai dengan hukum-hukum syariah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 93).
Satuan kepolisian ada dua jenis: Polisi militer serta polisi yang berada di bawah perintah dan pengawasan penguasa. Satuan kepolisian ini memiliki seragam khusus dan ciri-ciri tertentu untuk tugas menjaga keamanan.
Al-Azhari berkata, “Polisi adalah setiap kesatuan yang merupakan kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi, karena mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol daripada tentara. Mereka dinamakan syurthah (polisi) karena mereka memiliki ciri-ciri yang telah dikenal, baik dari pakaian maupun kemampuan geraknya.” Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh al-Ashma’i.
Dikatakan di dalam kamus: syurthah (polisi) adalah bentuk tunggal dari asy-syurath. Mereka adalah kesatuan terbaik yang terjun dalam perang dan mereka siap untuk mati. Polisi adalah kesatuan di antara para penolong wali. Syurthah (polisi) disebut dengan syurthi, seperti halnya turki dan juhani. Mereka dinamakan demikian karena diri mereka dapat diketahui dengan tanda-tanda yang sudah dikenal luas (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 224; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).
Polisi militer adalah bagian dari tentara yang memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol daripada pasukan lainya untuk mendisiplinkan urusan-urusan pasukan. Polisi militer marupakan bagian dari pasukan yang berada di bawah Amirul Jihad, yaitu berada di bawah Departemen Perang. Adapun polisi yang selalu siap di samping penguasa, maka ia berada di bawah Depkamdagri. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik:
إِنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ كَانَ يَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَنْزِلَةِ صَاحِبِ الشُّرَطِ مِنْ الْأَمِيرِ
Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki posisi sebagai kepala polisi dan ia termasuk di antara para amir.
Maksudnya adalah Qais bin Saad bin ‘Ubadah al-Anshari al-Khazraji. Imam Tirmidzi juga telah meriwayatkan hadis di atas dengan redaksi:
إِنَّ قَيْسَ بْنَ سَــــعْدٍ كَانَ يَكُــــونُ بَيْنَ يَدَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَنْزِلَةِ صَـــاحِبِ الشُّــــرَطِ مِنْ الْأَمِـــيرِ، قَـــالَ الْأَنْصَـــارِيُّ: يَعْنِي مِمَّا يَلِي مِنْ أُمُورِهِ
Qais bin Saad di sisi Nabi saw. berkedudukan sebagai kepala polisi dan ia termasuk di antara para amir. Al-Anshari berkata, “Yaitu orang yang menangani urusan-urusan polisi.
Khalifah boleh menjadikan seluruh polisi yang bertugas menjaga keamanan dalam negeri itu sebagai bagian dari pasukan, yaitu berada di bawah Departemen Perang. Boleh juga Khalifah menjadikan polisi sebagai departemen tersendiri, yaitu Depkamdagri.
Hanya saja, dalam hal ini Hizbut Tahrir mengadopsi kemandirian bagian ini (polisi), bahwa kepolisian berada di sisi penguasa untuk menjaga keamanan, dan berada di bawah Depkamdagri sebagai struktur yang berdiri sendiri dan berada di bawah Khalifah secara langsung, seperti struktur-struktur negara lainnya. Ini berdasarkan hadis Anas bin Malik di atas tentang Qais bin Saad.
Hal ini juga sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, yaitu berkaitan dengan kemandirian empat departemen yang berhubungan dengan jihad: militer, keamanan dalam negeri, perindustrian dan urusan luar negeri. Keempat hal tersebut hendaknya berada langsung di bawah Khalifah dan tidak digabungkan sebagai satu struktur. Demikianlah, kepolisian berada di bawah Depkamdagri (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 224; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).
Pencegahan dan Pengkondisian Keamanan
Depkamdagri merupakan departemen yang menangani semua bentuk ancaman dan gangguan keamanan, juga menjaga stabilitas dan keamanan dalam negeri melalui satuan kepolisian. Berikut ini contoh pencegahan dan pengkondisian keamanan yang dilakukan oleh Depkamdagri dan organ fungsionalnya, yaitu kepolisian.
Imam al-Bukhari telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus Ali bin Abi Thalib. Ali berkata:
Rasulullah saw. pernah mengutusku bersama Zubair dan Abu Murtsid. Masing-masing dari kami menunggang kuda. Rasulullah saw bersabda, “Berangkatlah kalian hingga sampai di Kebun Hâj (Begitulah yang dikatakan Abu Awanah dan dalam riwayat lain disebut Kebun Khâkh) karena di kebun itu terdapat seorang wanita yang tengah membawa surat dari Hatib bin Abi Balta’ah kepada kaum musyrik. Bawalah wanita itu kepadaku.
Lalu kami berangkat menunggang kuda kami masing-masing hingga kami menjumpai wanita tersebut, seperti yang dikatakan Rasulullah saw. Wanita itu berjalan menunggang unta. Hathib menulis surat kepada penduduk Makkah yang isinya memberitahukan tentang keberangkatan Rasulullah saw ke Makkah. Kami pun bertanya kepada wanita itu, “Di mana surat yang engkau bawa?” Wanita itu menjawab, “Aku tidak membawa surat.
Lalu kami menambatkan untanya dan menggeledah hewan tunggangannya. Kami tidak menemukan surat yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw. Dua orang temanku berkata: “Kami tidak melihat surat bersama dia.” Aku berkata, “Sungguh, kami tahu bahwa Rasulullah saw. tidak berbohong.
Kemudian Ali pun bersumpah: “Demi Allah, engkau mengeluarkan surat itu atau engkau akan kami telanjangi.” Akhirnya, wanita itu menunjuk ke arah pinggangnya. Ia mengenakan ikat pinggang dari kain. Lalu wanita itu mengeluarkan surat itu. Kami kemudian membawa wanita itu berserta suratnya kepada Rasulullah saw. (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 80).
Dalam Mushannaf Abdur Razzâq diriwayatkan dari Ibnu Uyainah dari Ismail bin Abi Khalid yang berkata bahwa Aku mendengar Abu Amr asy-Syaibani mengatakan:
كَانَ عبدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ: يَعُسُّ الْمَسْجِدَ فَلا يَدَعُ فِيهِ سَوَادًا إِلا أَخْرَجَهُ إِلا رَجُلا مُصَلِّيًا
Ibnu Mas’ud berpatroli menjaga dan mengelilingi masjid setiap malam. Ia tidak membiarkan seorang pun kecuali mengeluarkan dia dari masjid selain dari orang yang sedang shalat.
Kata ‘assa ya’ussu artinya ronda (berpatroli) pada malam hari untuk mengamati pergerakan para pencuri, mencari para pembuat keonaran dan siapa saja yang dikhawatirkan kejahatannya. Abdullah bin Mas’ud adalah komandan petugas patroli pada masa Khaifah Abu Bakar. Pada masa Umar bin al-Khaththab, maka beliau melakukan sendiri kegiatan patroli ini.
Di dalam negara Khilafah yang tidak lama lagi akan tegak kembali dengan izin Allah, maka Depkamdagri akan mengirim polisi untuk melakukan patroli ke pemukiman-pemukiman, kampung-kampung, pasar-pasar dan jalan-jalan raya untuk menjaga harta benda (properti) milik masyarakat seperti rumah, warung, toko dan lain-lainnya. Semua ini adalah tugas kepolisian sehingga masyarakat tidak dibebani dengan semua itu.
Adapun apa yang terjadi saat ini, beberapa anggota masyarakat, pemilik warung dan toko mengangkat satpam untuk menjaga rumah, warung dan tokonya. Tentu biayanya dari para pemiliknya. Semua ini salah. Semua ini terjadi akibat dari kebodohan masyarakat akan haknya, sementgara negara berlepas tangan dari tanggung jawab dan kewajibannya. Padahal menjaga keamanan dan berpatroli adalah kewajiban negara dan termasuk tugas kepolisian. Semua ini tidak akan pernah terwujudkan kecuali dengan tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb[Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014),http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 200

Post a Comment for "Keamanan Dalam Negeri dan Kepolisian Dalam Sistem Khilafah"